HARI HIV/AIDS: PENANGANAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DENGAN HIV/AIDS
6 Desember 2022, Rifka Annisa WCC dengan FKM UAD mengadakan live streaming Instagram dengan tema “Penanganan korban kekerasan berbasis gender dan perempuan dengan HIV/AIDS”.
Kegiatan dilakukan dengan bincang santai antara narasumber/partisipan yang mengemukakan pendapat, bercerita pengalaman, pendekatan hingga memberikan jalan keluar permasalahan kekerasan berbasis gender dan perempuan dengan HIV/ADIS (PDHA) ini ditinjau dari persepsi bidang masing-masing. Diskusi berlangsung kurang lebih 1 jam 45 menit tersebut memberikan banyak informasi tentang bagaimana seharusnya memandang orang dengan HIV/AIDS (ODHA) secara bijak dengan cara pendekatan unik disetiap kasusnya.
“PDHA kerap kali mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakkan bahkan kekerasan baik dari suami, mertua, maupun orang tuanya sendiri ditambah lagi dengan stigma maupun stereotipe dari masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya”, Laurensia Ana Yuliastanti dari KPA DIY.
Kasus HIV/AIDS yang terjadi khususnya di DIY tidak murni dikarenakan perempuan tersebut bekerja sebagai pekerja seks komersial tetapi bisa juga disebabkan oleh suami yang telah terinfeksi dari orang lain. Kekhawatiran lain yang didiskusikan adalah banyaknya kasus HIV pada anak-anak sekolah termasuk anak-anak difabel. Komnas Perempuan mencatat bahwa 229 kasus kekerasan terhadap PDHA antara tahun 2017-2021. 89% dari total kasus tersebut mengalami lebih dari 1 bentuk kekerasan. Menurut bentuk kekerasannya, 97% PDHA melaporkan kekerasan psikis (stigma dan pengucilan), 12 kasus pengusiran dan 88% bahkan mengalami kekerasan seksual. Selain itu, PDHA juga melaporkan kekerasan fisik yang dialami misalkan dalam bentuk penganiayaan. Selain itu mereka juga mengalami kekerasan ekonomi, misalnya ditinggalkan dan ditelantarkan oleh pasangan. Ironinya, 93% pelaku kekerasan tersebut adalah anggota keluarga dan 86% pelaku adalah suami korban. Hasil studi kekerasan berbasis gender lainnya tahun 2022 yang disampaikan jaringan Indonesia Positif (JIP) juga menemukan sebanyak 32% dari 247 perempuan dengan HIV di DKI Jakarta, Banten, dan jawa Barat pernah mengalami kekerasan dari pasangan. Menurut Siti Darmawati, S.Pd., Rifka Annisa telah melakukan beberapa pendampingan terkait dengan kasus tersebut.
Fitriana Putri Utami, mengatakan bahwa yang menjadi tantangan terbesar dalam menangani kasus HIV/AIDS ini adalah Sterotipe atau stigma yang berkembang di masyarakat yang lebih mendiskriminasi PDHA dibandingkan dengan laki-laki. Contohnya sebuah pernyataan berikut, “Laki-laki pengidap HIV dikatakan hanya merugikan dirinya sendiri sedangkan PDHA merugikan dirinya sendiri, suaminya, dan anaknya”. Stereotipe lainnya, berlaku untuk semua gender, menganggap bahwa berinteraksi atau bersalaman dengan ODHA dapat menularkan penyakit ini. Hal ini akan menjadi tekanan tersendiri bagi pengidap HIV/AIDS. Padahal yang perlu dipahami oleh masyarakat adalah HIV/AIDS tersebut hanya mampu menular melalui cairan air mani, vagina, ejakulasi, luka terbuka dan hubungan seks.
Beberapa kesimpulan dari kegiatan ini adalah sebagai berikut. Hal pertama yang harus diubah adalah stigma yang berkembang di masyarakat. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa orang yang mengidap HIV/AIDS ini bukanlah orang yang harus didiskriminasi dengan berbagai stigma yang buruk di masyarakat karena mereka juga butuh untuk diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya. Selain itu, pendekatan kepada populasi kunci perlu dilakukan dengan berkoordinasi bersama berbagai stakeholder termasuk Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga kerja, BKD, Dinas Perhubungan, hingga kominfo agar dapat memberikan dukungan penanganan komprehensif terhadap kekerasan yang dialami oleh PDHA.